POTRET

POTRET
invite me: 25A53E1A

Sabtu, 22 September 2012

BUKU KEMERDEKAAN



PAGI ini sekolah libur untuk memperingati hari kemerdekaan. Di lingkungan rumahku, lomba bernuansa kemerdekaan diadakan dengan semangat yang membara. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak mau kalah saat menunjukkan semangat dihari kemerdekaan.
Aku malah terdiam di kamarku dengan menggenggam buku coklat yang kutemukan di kamar almarhum nenekku. Buku itu kutemukan seminggu yang lalu. Aku tidak berani membacanya. Rasa penasaranku yang memaksaku untuk membuka lembar demi lembar isi buku itu. Setiap kata di buku tersebut membuat aku semakin rindu pada nenekku. Buku itu berisi kisah yang mengharukan. Ini ceritanya ....
***
          Setiap memasuki Agustus, aku selalu teringat masa-masa itu, masa-masa sulit perjuangan melawan penjajah. Bayangan tersebut seakan hadir di pelupuk mataku, suasana mencekam saat kampung halamanku diserbu penjajah bengis dan ketika aku kehilangan ibuku untuk selamanya. Bertahun-tahun yang lalu ibuku tewas ditangan tentara Jepang yang saat itu mengambil alih kekuasaan Belanda.
          Saat itu aku berusia sembilan tahun. VOC runtuh karena skandal KKN. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau, setelah 350 tahun dijajah Belanda, kemerdekaan yang ditunggu-tunggu itu belum juga tiba. Kekuasaan Belanda diambil alih oleh Jepang makin sengsara. Pajak melambung tinggi. Kebijakan yang ditetapkan pun semakin kejam.
          Setelah ibuku tiada, aku tinggal dengan tidak menentu. Aku bersembunyi dan berusaha hidup di tengah kekejaman Jepang yang merajalela. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Saking laparnya, tempat sampah menjadi tempat yang paling favorit. Bahkan, orang berebut makanan sisa orang Jepang.
          Radio yang hanya dimiliki beberapa orang disegel. Hanya siaran pemerintahan Dai Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai diketahui mendengarkan siaran luar negeri, pasti rakyat dihukum berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
          Ratusan ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha dikerahkan dari Pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan keluar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Tentara Jepang juga memperbudak para perempuan. Ribuan perempuan Indonesia menjadi jugun ianfu. Alias pemuas seks tentara Jepang.
          Empat tahun aku berjuang hidup dari rumah ke rumah. Suatu hari aku bekerja di rumah Sekretaris Desa Pak Soero\yo, tentara Jepang datang. Mereka ingin merampas hasil panen. Padahal, waktu itu musim paceklik. Hasil panen tidak seberapa. Untuk makan pun, susah.
          “Pak Soeryo, mana setoran pajak bulan ini?” kata tentara Jepang. Aku yang saat itu berada di dapur kaget. Aku menyembunyikan setengah hasil panen sesuai dengan perindah istri Pak Soeryo. “Sudah saya siapkan. Nduk,keluarkan pajak bulan ini.” Kata Pak Soeryo memanggilku. Aku serahkan sekarung beras itu kepada Pak Soeryo dengan cepat. “Wah, cantik sekali putrimu, Pak Soeryo. Kau boleh tidak bayar pajak selamanya asal kau serahkan gadismu itu. Haha,” kata orang Jepang itu dengan suara menggelegar.
          “Pergi kau, penjajah. Jangan macam-macam. Jangan berani menyentuh Zubaidah atau aku akan bunuh kau,” bentak Pak Soeryo. “Bawa gadis itu! Cepat!” perintah tentara Jepang itu kepada anak buahnya. “Lepaskan aku!” kataku sambil berteriak ketakutan. Pak Soeryo mengambil keris yang terselip dipinggangnya dan menusuk tentara Jepang tersebut.
          “Nduk, cepat pergi dari sini,” ujar Pak Soeryo. Aku terus berlari hingga tiba di sebuah hutan. Takut membuat lariku semakin kencang. Aku tidak peduli hingga aku terpeleset dan pingsan.
          “Aku dimana?” ucapku terbata-bata. “Zubed kau sudah sadar?” kata laki-laki yang duduk disampingku. “Kau siapa?” tanyaku sambil memperhatikan wajah laki-laki itu. “Aku Jaka, Zubed. Masak kau tidak mengenaliku?” ujarnya.
          Seketika aku duduk dan merangkul dia. “Kang Jaka, kemana saja kau? Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu telah meninggal,” kataku dengan tangis yang tidak dapat dibendung.
          “Setelah mengikuti latihan militer itu, aku pulang dan mencarimu. Tetapi, kata penduduk desa, ibumu telah meninggal dan kau pergi entah kemana. Aku sangat mengkhawatirkanmu,” jawab Kang Jaka dengan suara parau. Kang Jaka adalah teman yang kuanggap seperti kakakku sendiri. Nasib kami sama, lahir di tengah penindasan penjajahan bengis. “Zubed, maukah kau menikah denganku?” Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. “Aku serius, Zubed,” katanya.
          Akhirnya, kamu menikah di tengah hiruk pikuk peperangan untuk mengusir Jepang dari Nusantara. Kang Jaka juga ikut di barisan para pejuang Indonesia. Perjuangan rakyat Indonesia seperti mendapatkan angin segar setelah Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom oleh sekutu.
          Bayang-bayang kekalahan Jepang mulai tampak. Akhirnya, kemerdekaan yang ditunggu-tunggu selama berabad-abad terwujud juga pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10:00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Ikrar kemerdekaan itu meluas ke seantero Jakarta dan disebarkan ke seluruh Indonesia.
          Sebagai penduduk Indonesi, aku dan Kang Jaka sangat bahagia. Kami seperti terlahir untuk kali kedua sebagai manusia bebas. Kebahagiaan itu semakin bertambah karena Allah memberikan kepercayaan padaku untuk mengandung anak pertama. Setelah kemerdekaan itu, perjuangan belum berakhir. Pertempuran masih terjadi di sana-sini. Terjadi pertempuran yang dasyat pada November 1945. Kang Jaka ikut di barisan para pemuda Indonesia. Banyak korban berjatuhan hingga berita menyedihkan itu datang.
          “Zubed.” Terdengar suara dibalik pintu. Aku tidak menyangka bahwa ketukan itu membawa Kang Jaka yang bersimbah darah. Sambil duduk disampingnya, aku tidak kuasa menahan tangis. “Zubed, jaga anak kita baik-baik. Allah akan melindungi kalian,” kata Kang Jaka. Lalu, dia menutup mata untuk selama-lamanya.
          Kang Jaga pergi meninggalkan aku dan buah hati kamu yang belum terlahir ke dunia. Peristiwa tersebut telah terjadi, tetapi tidak akan pernah bisa aku lupakan. Kini buah hati Kang Jaka menjadi tentara dengan segudang prestasi. Aku mendidik dia agar bisa sepertimu, Kang.
***
          Perlahan kututup buku yang menjadi saksi kemerdekaan itu. Sayup-sayup terdengar lagu Indonesia Raya mengalun dari televisi. ***

Intan Mutiara Sari, SMP Negeri 2 Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar