PAGI ini sekolah libur untuk memperingati
hari kemerdekaan. Di lingkungan rumahku, lomba bernuansa kemerdekaan diadakan
dengan semangat yang membara. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak mau kalah saat
menunjukkan semangat dihari kemerdekaan.
Aku malah terdiam di kamarku dengan menggenggam
buku coklat yang kutemukan di kamar almarhum nenekku. Buku itu kutemukan seminggu
yang lalu. Aku tidak berani membacanya. Rasa penasaranku yang memaksaku untuk
membuka lembar demi lembar isi buku itu. Setiap kata di buku tersebut membuat
aku semakin rindu pada nenekku. Buku itu berisi kisah yang mengharukan. Ini
ceritanya ....
***
Setiap
memasuki Agustus, aku selalu teringat masa-masa itu, masa-masa sulit perjuangan
melawan penjajah. Bayangan tersebut seakan hadir di pelupuk mataku, suasana
mencekam saat kampung halamanku diserbu penjajah bengis dan ketika aku
kehilangan ibuku untuk selamanya. Bertahun-tahun yang lalu ibuku tewas ditangan
tentara Jepang yang saat itu mengambil alih kekuasaan Belanda.
Saat
itu aku berusia sembilan tahun. VOC runtuh karena skandal KKN. Lepas dari mulut
buaya, masuk mulut harimau, setelah 350 tahun dijajah Belanda, kemerdekaan yang
ditunggu-tunggu itu belum juga tiba. Kekuasaan Belanda diambil alih oleh Jepang
makin sengsara. Pajak melambung tinggi. Kebijakan yang ditetapkan pun semakin
kejam.
Setelah
ibuku tiada, aku tinggal dengan tidak menentu. Aku bersembunyi dan berusaha
hidup di tengah kekejaman Jepang yang merajalela. Makanan, pakaian, barang, dan
obat-obatan menghilang dari pasaran. Saking laparnya, tempat sampah menjadi
tempat yang paling favorit. Bahkan, orang berebut makanan sisa orang Jepang.
Radio
yang hanya dimiliki beberapa orang disegel. Hanya siaran pemerintahan Dai
Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai diketahui mendengarkan siaran luar
negeri, pasti rakyat dihukum berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai
atau polisi militer Jepang.
Ratusan
ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha
dikerahkan dari Pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan keluar wilayah Indonesia.
Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Tentara Jepang juga memperbudak
para perempuan. Ribuan perempuan Indonesia menjadi jugun ianfu. Alias pemuas seks tentara Jepang.
Empat
tahun aku berjuang hidup dari rumah ke rumah. Suatu hari aku bekerja di rumah
Sekretaris Desa Pak Soero\yo, tentara Jepang datang. Mereka ingin merampas
hasil panen. Padahal, waktu itu musim paceklik. Hasil panen tidak seberapa.
Untuk makan pun, susah.
“Pak
Soeryo, mana setoran pajak bulan ini?” kata tentara Jepang. Aku yang saat itu
berada di dapur kaget. Aku menyembunyikan setengah hasil panen sesuai dengan
perindah istri Pak Soeryo. “Sudah saya siapkan. Nduk,keluarkan pajak bulan ini.” Kata Pak Soeryo memanggilku. Aku
serahkan sekarung beras itu kepada Pak Soeryo dengan cepat. “Wah, cantik sekali
putrimu, Pak Soeryo. Kau boleh tidak bayar pajak selamanya asal kau serahkan
gadismu itu. Haha,” kata orang Jepang itu dengan suara menggelegar.
“Pergi
kau, penjajah. Jangan macam-macam. Jangan berani menyentuh Zubaidah atau aku
akan bunuh kau,” bentak Pak Soeryo. “Bawa gadis itu! Cepat!” perintah tentara
Jepang itu kepada anak buahnya. “Lepaskan aku!” kataku sambil berteriak
ketakutan. Pak Soeryo mengambil keris yang terselip dipinggangnya dan menusuk
tentara Jepang tersebut.
“Nduk, cepat pergi dari sini,” ujar Pak
Soeryo. Aku terus berlari hingga tiba di sebuah hutan. Takut membuat lariku
semakin kencang. Aku tidak peduli hingga aku terpeleset dan pingsan.
“Aku
dimana?” ucapku terbata-bata. “Zubed kau sudah sadar?” kata laki-laki yang
duduk disampingku. “Kau siapa?” tanyaku sambil memperhatikan wajah laki-laki
itu. “Aku Jaka, Zubed. Masak kau tidak mengenaliku?” ujarnya.
Seketika
aku duduk dan merangkul dia. “Kang Jaka, kemana saja kau? Aku tidak punya
siapa-siapa lagi. Ibu telah meninggal,” kataku dengan tangis yang tidak dapat
dibendung.
“Setelah
mengikuti latihan militer itu, aku pulang dan mencarimu. Tetapi, kata penduduk
desa, ibumu telah meninggal dan kau pergi entah kemana. Aku sangat
mengkhawatirkanmu,” jawab Kang Jaka dengan suara parau. Kang Jaka adalah teman
yang kuanggap seperti kakakku sendiri. Nasib kami sama, lahir di tengah
penindasan penjajahan bengis. “Zubed, maukah kau menikah denganku?” Pertanyaan
itu muncul tiba-tiba. “Aku serius, Zubed,” katanya.
Akhirnya,
kamu menikah di tengah hiruk pikuk peperangan untuk mengusir Jepang dari
Nusantara. Kang Jaka juga ikut di barisan para pejuang Indonesia. Perjuangan
rakyat Indonesia seperti mendapatkan angin segar setelah Nagasaki dan Hiroshima
dijatuhi bom atom oleh sekutu.
Bayang-bayang
kekalahan Jepang mulai tampak. Akhirnya, kemerdekaan yang ditunggu-tunggu
selama berabad-abad terwujud juga pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10:00 WIB
di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Ikrar kemerdekaan itu meluas ke
seantero Jakarta dan disebarkan ke seluruh Indonesia.
Sebagai
penduduk Indonesi, aku dan Kang Jaka sangat bahagia. Kami seperti terlahir
untuk kali kedua sebagai manusia bebas. Kebahagiaan itu semakin bertambah
karena Allah memberikan kepercayaan padaku untuk mengandung anak pertama.
Setelah kemerdekaan itu, perjuangan belum berakhir. Pertempuran masih terjadi
di sana-sini. Terjadi pertempuran yang dasyat pada November 1945. Kang Jaka
ikut di barisan para pemuda Indonesia. Banyak korban berjatuhan hingga berita
menyedihkan itu datang.
“Zubed.”
Terdengar suara dibalik pintu. Aku tidak menyangka bahwa ketukan itu membawa
Kang Jaka yang bersimbah darah. Sambil duduk disampingnya, aku tidak kuasa
menahan tangis. “Zubed, jaga anak kita baik-baik. Allah akan melindungi
kalian,” kata Kang Jaka. Lalu, dia menutup mata untuk selama-lamanya.
Kang
Jaga pergi meninggalkan aku dan buah hati kamu yang belum terlahir ke dunia.
Peristiwa tersebut telah terjadi, tetapi tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Kini buah hati Kang Jaka menjadi tentara dengan segudang prestasi. Aku mendidik
dia agar bisa sepertimu, Kang.
***
Perlahan kututup
buku yang menjadi saksi kemerdekaan itu. Sayup-sayup terdengar lagu Indonesia Raya mengalun dari televisi.
***
Intan
Mutiara Sari, SMP Negeri
2 Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar